Sabtu, 22 Januari 2011

KETIKA ULAMA DAN UMARO SAMA SAMA ( SAMA SAMA BERBOHONG )

Pernah dalam satu episode perjuangan bangsa lahir gagasan untuk mendirikan negara berdasarkan agama Islam, Gagasan ini tidak mendapatkan persetujuan oleh para pendiri bangsa karena pluralitas bangsa. Kompromi politik yang dapat disepakati adalah Negara berdasarkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945.
Gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia oleh sebagian orang dan kelompok tertentu tidak pernah padam, kendati mayoritas warga bangsa dan umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dasar Negara, paham dan gerakan ini terus muncul walaupun telah ditumpas dengan operasi militer pada tahun 1962. Pada tahun tahun berikutnya  terus muncul gerakan yang berkaitan dengan NII seperti Komando Jihad, pembajakan Woyla,  Talangsari Lampung dan akhir akhir ini muncul gerakan bawah tanah yang disebut Al-Jamaah al Islamiyah (JI), dan pelaku terorisme juga berindikasi melibatkan banyak orang yang berasal dari kelompok NII
Banyak bukti telah ditemukan akan adanya gerakan bawah tanah tersebut yang terus memelihara dan mengembangkan pemikiran NII dan praktik praktik yang menyimpang dari ajaran Islam, korban pun terus berjatuhan, terutama dari kalangan generasi muda, pelajar dan mahasiswa  yang direkrut oleh gerakan yang mengatasnamakan NKA/NII KW-9. Makin banyaknya jatuh korban ditengah masyarakat berupa prosesi perpindahan kewarganegaraan, pembaiatan dan, menjadi fitnah besar bagi umat Islam. Ini sesungguhnya adalah tragedi kemanusiaan dan kemerosotan ideologis bagi bangsa Indonesia.
Belum ada pemikiran dan tindakan yang komprehensif menyelesaikan permasalahan bangsa dan umat terkait dengan gerakan NII KW-9, walaupun telah diusahakan oleh beberapa kelompok kecil bangsa. NII KW-9 telah menjadi wabah virus yang mampu melumat siapa saja, dimana dan kapan saja. Kesempurnaan system, SDM yang loyal dan disiplin,  manajerial yang profesional, terutama dukungan dana yang besar dan pembiaran aparat keamanan membuat gerakan ini membabi buta tanpa hambatan dengan mudah sekali merekrut banyak korban.
Adanya Perlawanan sporadis dari segelintir anak bangsa, baik oleh kalangan kampus dan kelompok kecil masyarakat harus menjadi titik awal untuk menyatukan seluruh kekuatan elemen bangsa, baik pemerintah dan masyarakat, baik Polri dan TNI bersatu dalam satu komitmen, Selamatkan NKRI, Tumpas Gerakan NII KW-9/Ma’had Al Zaytun, hentikan jatuh korban mulai detik ini.



Permasalahan
  1. Bagaimana kita menyikapi persoalan kebangsaan dan keumatan ini agar tidak ada lagi praktik Negara dalam Negara, tidak ada kebohongan atas penipuan atas nama agama, apakah kita serahkan saja kepada keputusan sejarah atau kita serahkan kepada Negara ?
  2. Temuan Tim Investigasi MUI Pusat dan Balitbang Departemen Agama serta Institusi Badan Intelejen Keamanan Mabes Polri sesungguhnya sudah senada dan seirama, namun sangat disayangkan bunyinya nyaris tak terdengar, dibungkam dan dipetieskan. Padahal laporan masyarakat dan media masa secara fulgar dan jelas membeberkan semua kejahatan atas nama NII dan Ma’had Al Zaytun. Kita menyayangkan adanya oknum pimpinan di institusi tersebut yang secara sadar dan terbuka justru bersikap ambivalen, tebang pilih dan kontra terhadap komitmen kebangsaan.
  3. Sungguh sangat disayangkan bilamana kelak anak cucu kita menuliskan satu kalimat, “Ketika Ulama dan Umara ‘sama-sama’ Berbohong”  Yang memilukan dalam kasus ini bukanlah banyaknya jatuh korban dari generasi muda, justru merekalah yang  harus diselamatkan dan dikembalikan ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi, tapi yang memilukan dan menjadi Tragedi Besar Bangsa ini, adalah ketika bangsa ini  kehilangan sensitifitas, kesetiakawanan dan solidaritas. Tanpa kekuatan tersebut ‘omong kosong kita bicara ‘persatuan dan kesatuan’ Munafiq ketika Ulama mengkampanyekan ‘Ukhuwah Islamiyah’ atau Semangat Persaudaraan. Apakah NKRI saat ini sedang sangat rapuh dan nyaris kalah?
Segera terbit Buku baru Oleh NCC
Semoga penerbitan  Buku saku  ini diharapkan menjadi sosialisasi dikalangan sekolah dan kampus, sebagai ‘warning’ atas  gerakan NII KW-9 untuk mempersempit ruang gerak dan meminimalisasi jatuhnya banyak korban, hingga pada waktunya bisa melahirkan petisi atau resolusi dalam agenda aksi atas nama masyarakat madani untuk selanjutnya ada proses penegakan hukum dan politik tentang gerakan Negara Dalam Negara yang sudah banyak menelan korban generasi muda, pelajar dan mahasiswa pada 20 tahun terakhir ini.

Rasul Suci dari Dosa ? Pengakuan orang yang mengaku Rasul

Seseorang berinisial GSS pada tanggal 14 Maret 2010 telah meninggalkan komentar berikut di Facebook page Sakti A Sihite: “Apakah anda bersih dari dosa sampai anda beranggapan bahwa diri anda adalah rosul Allah?”

Pertanyaan dari GSS itu berangkat dari persepsi yang salah tentang latar belakang pengakuan kerasulan. Klaim kerasulan itu bukan dilatarbelakangi oleh inisiatif pribadi. Bukan karena misalnya merasa suci, atau merasa mulia, atau merasa hebat lalu saya mengklaim diri sebagai rasul.

Tidak ada suatu perbuatan, atau keahlian, atau prestasi yang bisa dijadikan dasar bagi seseorang untuk mengklaim dirinya sebagai rasul!

Saya menyatakan diri saya sebagai rasulullah berdasarkan wahyu kerasulan yang saya terima.

Jadi, kalaupun misalnya Tuhan mengkondisikan saya menjadi pribadi yang bersih dari dosa, saya tetap tidak akan mengklaim diri saya sebagai rasul kecuali ada wahyu kerasulan yang saya terima.

Karunia kerasulan itu sendiri adalah hak prerogatif Tuhan yang diberikan-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Keputusan Tuhan tentunya tidak bisa ditakar dengan pengetahuan manusia yang sangat terbatas.

Coba ingat kisah Nabi Musa. Status beliau sebelum dilantik menjadi rasul adalah buron kasus pembunuhan. Beliau melarikan diri ke Madyan setelah memukul seorang Qibti hingga tewas.

Apakah lantas Nabi Musa tidak layak menjadi rasul? Siapakah yang berhak menyatakan tidak layak atas pilihan Tuhan?

Pada kenyataannya, manusia yang “suci dari dosa” itu tidak pernah ada. Nabi Muhammad sekalipun, yang oleh sebagian besar umat Islam diimajinasikan sebagai pribadi suci, beberapa kali ditegur Tuhan (baca Quran 66:1, 80:1-10).

Berhentilah mengaitkan nabi/rasul dengan imajinasi-imajinasi melangit yang tidak realistis! Rasul juga manusia yang tidak luput dari dosa dan kesalahan.

Aliran Sesat Yang Menyesatkan Orang Lain

Alasan mengapa suatu golongan dikategorikan “sesat” sering kali tidak didasarkan pada landasan argumentasi yang memuaskan. Bisa saja suatu golongan dicap sesat hanya karena pandangan mereka “berbeda” dari anutan mayoritas. Dalam hal ini yang berbicara sudah bukan lagi nalar dan dalil, tetapi selera pribadi belaka.

Pada zaman dahulu, Nabi Nuh telah dicap sesat oleh pemuka-pemuka kaumnya ketika beliau menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Pada masa sekarang kejadiannya tetap sama. Seorang rasul yang menyampaikan ayat-ayat Tuhan dipastikan mendapat label “sesat” dari masyarakat.

“Telah berkata pemuka-pemuka dari kaumnya, ‘Sesungguhnya kami melihat kamu dalam kesesatan yang nyata.’ Berkata (Nuh), ‘Wahai kaumku, tidaklah aku dalam kesesatan, dan tetapi aku (adalah) utusan dari Tuan semesta alam. Aku menyampaikan kepadamu pesan-pesan Tuanku, dan aku menasihati kamu, dan aku mengetahui dari Tuhan apa yang tidak kamu ketahui’.” (Quran 7:60-62)

Di akhirat nanti, mereka yang melontarkan kecaman “sesat” terhadap para penyampai peringatan Tuhan akan mengakui perbuatan mereka. Sayangnya, pengakuan mereka di dalam kobaran api itu sudah tidak ada gunanya lagi.

“Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar padanya (suara) yang bergemuruh, dan ia menggelegak, ia hampir-hampir terpecah karena marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan, bertanyalah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?’ Mereka berkata, ‘Benar, sungguh telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakan dan kami mengatakan, ‘Tiadalah Tuhan menurunkan sesuatu, kamu hanyalah dalam kesesatan yang besar’.” (Quran 67:7-9)

Sebagaimana utusan Tuhan, orang-orang beriman yang mengikutinya pun akan menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan serta dikecam “sesat”. Hal yang diceritakan Tuhan ini sepatutnya menjadi renungan bagi orang-orang yang mau menggunakan akalnya. Ketika suatu golongan dituding “sesat”, evaluasilah dengan saksama dalil-dalil dari pihak yang menuduh maupun pihak yang dituduh. Bukan tidak mungkin mereka yang dianggap sesat itulah orang-orang beriman yang sesungguhnya.

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa telah menertawakan orang-orang yang percaya. Apabila mereka (orang-orang berdosa) melewati mereka (orang-orang yang percaya) itu, mereka saling mengedipkan mata. Dan apabila mereka telah balik kepada keluarga mereka, mereka balik dengan riang gembira. Dan apabila mereka (orang-orang yang berdosa) melihat mereka (orang-orang yang percaya) itu, mereka berkata, ‘Sesungguhnya mereka itu sungguh orang-orang yang sesat!’” (Quran 83:29-32)

Terlepas dari kategori “sesat” yang diada-adakan oleh manusia berdasarkan keinginannya, Tuhan di dalam kitab-Nya telah menetapkan beberapa kriteria manusia yang tergolong “sesat”. Siapa yang masuk ke dalam kriteria “sesat” versi Tuhan, mereka inilah orang sesat yang sebenar-benarnya.

Kriteria-kriteria “sesat” berdasarkan kitab Tuhan adalah sebagai berikut:

Pertama, “menyekutukan sesuatu dengan Tuhan”.

“Sesungguhnya Tuhan tidak mengampuni bahwa dipersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni apa yang selain itu kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang menyekutukan (sesuatu) dengan Tuhan, maka sungguh dia telah tersesat (dengan) kesesatan yang jauh.” (Quran 4:116)

Sebagian besar kaum Nasrani telah mempertuhankan Nabi Isa (Yesus). Sebagian besar umat Islam mempertuhankan para “alim-ulama” dengan berkhidmat kepada ajaran mereka dan meninggalkan ajaran Tuhan. Ada pula manusia yang mengabdi kepada jin, atau menyembah matahari serta patung-patung. Semua itu adalah perilaku menyekutukan sesuatu dengan Tuhan, dan masuk ke dalam kategori sesat.

Ke dua, “menyanggah Tuhan dan utusan-Nya”.

“Dan tiadalah (bagi) lelaki yang beriman, dan tiadalah (pula) (bagi) perempuan yang beriman, apabila Tuhan dan utusan-Nya telah menetapkan (sesuatu) perkara, bahwa akan ada bagi mereka pilihan dalam perkara mereka. Dan barang siapa yang menyanggah Tuhan dan utusan-Nya, maka sungguh dia telah sesat (dengan) kesesatan yang nyata.” (Quran 33:36)

Tuhan telah menetapkan kata-kata kebenaran bahwa utusan-Nya harus dipatuhi. Siapa yang mematuhi utusan, maka sesungguhnya dia telah mematuhi Tuhan. Mereka yang—dengan berbagai dalih—menyalahi apa yang telah diputuskan oleh utusan, sebenarnya telah terjerumus ke dalam kesesatan.

Ke tiga, “mengharamkan apa yang Tuhan rezekikan”.

“Sungguh telah rugi orang-orang yang telah membunuh anak-anak lelaki mereka (dalam) kedunguan tanpa pengetahuan, dan mereka mengharamkan apa yang telah Tuhan rezekikan (kepada) mereka (dengan) mengada-ada atas Tuhan. Sungguh mereka telah sesat, dan tiadalah mereka tertunjuki.” (Quran 6:140)

Tuhan di dalam Quran ayat 5:3 telah menguraikan apa-apa saja yang diharamkan-Nya, yaitu: bangkai, darah, daging babi, apa-apa yang dilafalkan kepada selain Tuhan, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh lalu mati, yang ditanduk, yang dimangsa binatang buas kecuali sempat disembelih, dan yang disembelih di atas altar.

Ada manusia yang mengada-ada hukum dengan mengharamkan yang selain dari apa-apa yang telah diharamkan Tuhan tersebut. Mereka mengharamkan binatang yang hidup di dua alam, binatang bertaring, burung berkuku tajam, dan keledai. Mereka ini telah sesat.

Ke empat, “mengubahi ciptaan Tuhan”.

“Dan sungguh aku (setan) akan menyesatkan mereka, dan sungguh aku akan memenuhi mereka dengan khayalan, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka, maka mereka sungguh akan memotong telinga binatang ternak. Dan sungguh aku akan memerintahkan mereka, maka sungguh mereka akan mengubahi ciptaan Tuhan....” (Quran 4:119)

Bentuk tindakan mengubahi ciptaan Tuhan yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah khitan (sunat). Ritual berdarah tersebut tidak pernah diperintahkan Tuhan. Kulit khitan adalah bagian dari “standar desain” penciptaan manusia, dan bukan suatu kelainan yang patut dibuang. Tuhan telah sengaja menciptakan kulit khitan itu untuk fungsi tertentu bagi kesempurnaan makhluk ciptaannya yang bernama manusia.

Ke lima, “meragukan peristiwa kehancuran alam semesta”.

“Orang-orang yang tidak mengimaninya minta disegerakan. Dan orang-orang yang beriman berawas-awas padanya, dan mengetahui bahwa ia (adalah) kebenaran. Tidakkah sesungguhnya orang-orang yang meragukan jam itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh?” (Quran 42:18)

Momen kehancuran alam semesta yang diiringi dengan berbangkitnya seluruh manusia dan tegaknya pengadilan Tuhan adalah kepastian yang telah berulang-ulang diperingatkan Tuhan di dalam kitab-Nya.

Ada orang yang menyangkal peringatan Tuhan itu dengan mencari-cari panafsiran yang sesuai dengan keinginannya. Bagi mereka, bangkitnya kembali manusia yang telah mati dan hancur terurai tidak lebih dari sebuah dongeng. Jika utusan Tuhan mengingatkan mereka tentang momen tersebut, mereka yang ingkar malah menantang agar peristiwa dahsyat itu segera didatangkan. Mereka ini adalah orang-orang yang sesat.

Ke enam, “menyeru kepada selain Tuhan”.

“Dan siapakah yang lebih tersesat daripada orang yang memanggil selain dari Tuhan, yang tidak akan menyahutinya hingga hari penegakan, sedangkan mereka pada pemanggilan mereka lengah?” (Quran 46:5)

Kemurnian penghambaan mensyaratkan bahwa kita tidak berdoa kepada selain Tuhan. Sebagian besar manusia dari berbagai agama telah melafalkan nama lain selain dari nama Tuhan, yaitu “Amin/Amen/Aum”, di dalam doa mereka. Memanggil nama-nama tersebut adalah bentuk kesesatan.

Ke tujuh, “berkasih sayang dengan mereka yang memusuhi utusan Tuhan dan orang-orang beriman”.

“Wahai orang-orang yang percaya, janganlah mengambil musuh-Ku dan musuhmu (sebagai) sahabat yang kamu menyampaikan kepada mereka kasih sayang, padahal sungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kamu itu. Mereka mengusir utusan dan kamu karena kamu percaya kepada Tuhan, Tuan kamu. Jika kamu keluar untuk berjuang di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah berbuat demikian). Kamu merahasiakan kasih sayang kepada mereka itu, sedangkan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa yang berbuat demikian itu dari (antara) kamu, maka sungguh dia telah sesat (dari) jalan yang lurus.” (Quran 60:1)

Sesungguhnya iman itu menghadirkan “pemisah” (furqan) antara yang benar dan yang salah. Kita harus mengambil sikap tegas dan tidak mendua hati apabila menetapkan diri pada kebenaran.

Ketika menceritakan tentang “golongan Tuhan” di dalam ayat 58:22, Tuhan mendeskripsikan bahwa mereka itu tidak berkasih sayang dengan orang-orang yang ingkar, meskipun orang-orang yang ingkar itu adalah orang tua, anak, saudara, atau kerabat mereka sendiri. Demikian itulah sikap orang beriman yang sejati. Siapa yang tetap berkasih sayang dengan mereka yang memusuhi utusan Tuhan dan orang-orang beriman, sungguh telah jatuh kepada kesesatan.

Semoga pembahasan ini membuka wawasan kita dalam memaknai istilah “sesat”. Kriteria-kriteria “sesat” yang dipaparkan di sini gunakanlah untuk menilai diri sendiri terlebih dahulu. Jangan sibuk menuding orang lain sesat, tetapi tidak sadar bahwa diri sendiri yang rupanya telah sesat.

Menuntut Mukjizat Kerasulan

“Dan berkata orang-orang yang ingkar, ‘Mengapa tidak diturunkan atasnya tanda/mukjizat dari Tuannya?...” (Quran 13:7)

Pada masa lalu, orang-orang yang ingkar (kafir) telah menuntut supaya rasulullah Muhammad mendatangkan mukjizat sebagai bukti kerasulan. Mereka mempertanyakan kalau memang benar Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan, mengapa tidak ada mukjizat yang diturunkan Tuhan kepadanya.

Orang-orang yang ingkar pada zaman sekarang pun telah menuntut hal yang sama kepada utusan Tuhan.

Sesungguhnya para rasul itu diutus untuk memberi peringatan kepada manusia dengan pesan-pesan Tuhan yang tercantum di dalam kitab-Nya. Rasul itu bukan manusia yang mesti membawa fenomena luar biasa (mukjizat). Penurunan mukjizat adalah sepenuhnya kewenangan Tuhan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Dari catatan Quran, hanya beberapa orang rasul saja yang dikaruniai mukjizat. Di antara mereka adalah rasulullah Isa dan rasulullah Musa. Isa dapat menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta, dan meniup sebentuk tanah liat sehingga hidup menjadi burung. Musa tangannya dapat memancarkan cahaya, dan tongkatnya dapat berubah menjadi ular.

Sang penutup nabi-nabi, Muhammad, bisa dikatakan tidak memiliki suatu mukjizat. Kitab Quran yang diturunkan kepada beliau bukanlah “mukjizat” dalam pengertian yang dimaksudkan oleh kaumnya. Yang mereka harapkan adalah suatu fenomena luar biasa yang melampaui akal manusia, seperti yang ada pada Musa dan Isa. Itulah kenapa mereka mempertanyakan tidak adanya mukjizat beliau sebagaimana terbaca pada ayat di awal tulisan ini.

Permintaan akan mukjizat adalah salah satu dari beberapa macam “respon standar” orang-orang yang ingkar. Mereka bukan berniat untuk percaya, syarat mukjizat itu hanya dalih kosong yang muncul dari sikap mereka yang melampaui batas. Andaikata mukjizat yang mereka minta itu benar-benar hadir, niscaya mereka akan tetap dalam keingkarannya. Sebagaimana dapat kita perhatikan pada kisah rasulullah Musa maupun Isa, ketika mukjizat didatangkan, kaumnya yang ingkar menganggap itu sebagai sihir.

Orang-orang yang ditunjuki Tuhan tidak membutuhkan mukjizat untuk mempercayai kebenaran yang datang kepada mereka. Hanya saja yang meminta mukjizat adalah orang-orang bodoh yang telah pasti kesesatan atasnya.

“Dan mereka telah bersumpah dengan (nama) Tuhan, sumpah segenap hati, bahwa jika datang kepada mereka suatu tanda/mukjizat, sungguh mereka akan beriman dengannya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya tanda-tanda/mukjizat itu hanyalah di sisi Tuhan’. Dan apakah yang akan menyadarkan kalian bahwa apabila ia datang mereka tidak akan percaya?” (Quran 6:109)

“Dan sekiranya Kami telah menurunkan kepada mereka malaikat-malaikat, dan telah berkata-kata orang-orang yang mati dengan mereka, dan Kami kumpulkan kepada mereka segala sesuatu berhadap-hadapan, tidaklah mereka akan percaya, kecuali jika Tuhan menghendaki. Dan tetapi kebanyakan mereka (adalah) bodoh.” (Quran 6:111)

Agama Tanpa Mazhab

“… dan janganlah kalian tergolong orang-orang yang menyekutukan, (yaitu) dari orang-orang yang telah memisah-misah agama mereka, dan mereka telah menjadi golongan-golongan, tiap golongan/mazhab berbangga dengan apa yang di sisi mereka.” (Quran 30:31-32)

Sejak lama umat Islam didapati terpecah ke dalam banyak golongan/mazhab. Penggolongan yang paling besar adalah antara sunni di satu pihak dan syiah di lain pihak. Sunni memegang sebuah hadis yang mengatakan bahwa hanya golongannya yang akan selamat di Akhirat kelak. Syiah pun memiliki doktrin yang memaparkan keutamaan imam mereka dan para pengikutnya.

Sunni yang merupakan golongan terbesar dari umat Islam dunia terpisah-pisah ke dalam empat mazhab utama, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Empat mazhab tersebut masing-masing menelorkan lagi berbagai cabang dan ranting golongan yang tidak terkira jumlahnya. Syiah pun terpisah-pisah ke dalam beberapa golongan. Terdapat tiga mazhab di dalam syiah, yaitu: Ja’fariyah, Ismailiyah, dan Zaidiyah. Tidak berbeda dengan induknya, berbagai cabang dan ranting yang lahir dari sunni dan syiah pun masing-masing mengklaim keunggulannya atas golongan lain.

Berbagai mazhab dan golongan dalam Islam muncul karena umat telah meninggalkan ajaran Tuhan dan berpaling kepada ajaran-ajaran yang bersumber dari selain Quran. Banyak dan beragamnya orang maupun kepentingan yang terlibat dalam “proses produksi” ajaran non-kitabullah itu pada gilirannya memunculkan berbagai golongan/mazhab dalam Islam.

Meski masing-masing golongan/mazhab mengklaim bahwa Nabi Muhammad ada di pihak mereka, Tuhan telah mementahkan klaim-klaim tersebut dengan menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak ada sangkut pautnya dengan berbagai golongan/mazhab yang ada.

“Sesungguhnya orang-orang yang telah memisah-misah agama mereka, dan menjadi golongan-golongan, bukanlah engkau dari mereka dalam suatu apapun. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah kepada Tuhan, kemudian Dia akan mengabarkan mereka apa-apa yang telah mereka perbuat.” (Quran 6:159)

Sebagaimana disinggung pada ayat di awal tulisan, bergolong-golongan/bermazhab dalam agama adalah wujud kemusyrikan. Mereka yang hendak menapaki jalan yang benar mesti membersihkan diri dari pengaruh golongan/mazhab. Langkahnya adalah dengan meninggalkan segala ajaran non-Quran (hadis, fatwa imam, ijma ulama, dsb) yang merupakan produk dari mazhab-mazhab, dan selanjutnya menyediakan diri untuk menerima tuntunan Tuhan melalui ayat-ayat yang disampaikan oleh utusan-Nya. Sikap inilah wujud dasar dari “berserah diri” atau yang dalam bahasa Arabnya disebut “islam”.

The Power of Dream, Inilah argumen Ajaran Tentang Kerasulanya

“... Mimpi-mimpi yang kacau! Bahkan dia mengada-adakannya; bahkan dia seorang penyair! Maka hendaklah dia mendatangkan kepada kita satu tanda (mukjizat) sebagaimana orang-orang terdahulu diutus.” (Quran 21:5)

Cukup banyak yang mempertanyakan bagaimana bisa saya meyakini kerasulan saya dengan “hanya” didasari oleh sebuah mimpi. Ada juga yang menyayangkan mengapa saya tidak mengkonsultasikan dulu mimpi saya tersebut kepada para “ulama” agar saya tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

Sah-sah saja orang bersikap skeptis terhadap mimpi. Tapi kenyataan berkata bahwa mimpi adalah media komunikasi yang sering digunakan Tuhan untuk menyampaikan pesan kepada hamba-hamba-Nya.

Pada ayat yang saya kutip di awal tulisan ini, orang-orang ingkar pada zaman Rasulullah Muhammad telah mencemooh mimpi beliau. Meski tidak disebutkan apa yang telah disampaikan oleh Nabi, namun dari tanggapan orang-orang ingkar tersebut dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad telah mengajukan mimpi sebagai dasar kerasulan beliau.

Fakta mengenai mimpi Nabi Muhammad tersebut jarang diketahui orang. Umumnya ketika berbicara tentang pelantikan kerasulan Muhammad, orang mengacu pada catatan sejarah mengenai hadirnya Jibril di Gua Hira, tempat di mana Nabi Muhammad menyepi untuk mempertajam ruhaninya.

Saya tidak mengatakan bahwa cerita tentang kehadiran Jibril di Gua Hira itu salah. Tentunya pengalaman spiritual tidak harus terjadi satu kali saja. Mungkin saja pengalaman didatangi Jibril di Gua Hira itu benar adanya, di samping pengalaman spiritual berupa mimpi sebagaimana yang telah disinggung. Namun yang dapat dikonfirmasi langsung dengan ayat Quran adalah bahwa Nabi Muhammad telah mengajukan mimpi sebagai dasar kerasulan beliau.

Tuhan kembali berkomunikasi kepada Nabi Muhammad lewat mimpi ketika memberitahu bahwa Mekah akan ditaklukkan. Pada waktu itu Nabi berstatus sebagai migran di Madinah setelah menyingkir dari Mekah yang bersikap tidak bersahabat kepada beliau.

“Sungguh Tuhan menjadikan benar mimpi/penglihatan utusan-Nya dengan sebenarnya (yaitu) sungguh kalian akan memasuki Mesjid Terlarang, jika Tuhan kehendaki, dengan aman. Mencukur kepala-kepala kalian, dan memendekkan rambut tanpa merasa takut. Maka Dia mengetahui apa yang kalian tidak ketahui, maka Dia menjadikan selain itu satu kemenangan yang dekat.” (Quran 48:27)

Yang tidak boleh dilewatkan terkait dengan pembahasan mengenai mimpi adalah kisah yang mengharu biru tentang Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan Ismail putranya. Kisah pengorbanan yang sangat monumental tersebut menjadi salah satu rujukan terbaik dalam menghayati arti kesabaran.

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail, disampaikan lewat suatu penglihatan di dalam mimpi. Nabi Ibrahim melihat di dalam mimpi bahwa beliau menyembelih Ismail, dan beliau yakin bahwa itu adalah perintah Tuhan yang harus diwujudkan.

“Maka apabila dia (Ismail) telah sampai umur (untuk bisa) berusaha bersama dia (Ibrahim), dia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam tidurku bahwa aku menyembelih kamu, maka renungkanlah, apa pendapat kamu?’ Berkata (Ismail), ‘Wahai ayahku, perbuatlah apa yang diperintahkan kepada kamu. kamu akan mendapati aku, jika Tuhan menghendaki, termasuk orang-orang yang sabar.’” (Quran 37:102)

Mimpi-mimpi spiritual yang dialami oleh para rasul memiliki sifat yang unik. Ia menghadirkan suatu keyakinan yang mantap secara seketika. Itulah mengapa Nabi Ibrahim bertekad melaksanakan mimpinya, meski wujudnya adalah penyembelihan terhadap putra beliau sendiri. Itu pula sebabnya mengapa saya tidak merasa perlu mengkonsultasikan mimpi kerasulan saya kepada siapapun.

Adapun pertanyaan Nabi Ibrahim kepada Ismail, sebagaimana terbaca pada ayat yang dikutip, bukan menunjukkan keraguan beliau atas mimpi tersebut. Itu adalah cara Nabi Ibrahim selaku seorang bapak mengkomunikasikan perintah Tuhan tersebut kepada anaknya.

Kami, para rasul, bukanlah orang-orang konyol yang akan menelan mentah-mentah segala sesuatu yang melintas di dalam mimpi. Tentu saja ada mimpi-mimpi yang sifatnya sekadar penghias tidur. Tapi jangan lantas menyamaratakan semua mimpi sebagai bunga tidur belaka. Telah terbukti dalam sejarah panjang kerasulan bahwa Tuhan sering meninggalkan pesan lewat sebuah mimpi.

Pengkaburan Sejarah Penyaliban Isa, Waspadalah

Nabi Isa, yang dikenal pula dengan sebutan Yesus, mempunyai tempat khusus di dalam khazanah agama umat Islam dan umat Nasrani. Terdapat beberapa perbedaan tentang bagaimana masing-masing umat memandang figur Isa, salah satunya adalah dalam masalah “penyaliban”.

Siapakah Yang Disalib?

Umat Islam menyatakan bahwa Isa tidak dihukum salib. Yang disalib itu menurut umat Islam adalah orang lain (Yudas) yang diserupakan dengan Isa. Jadi para penyalib itu melihat seakan-akan yang mereka salib adalah Isa, padahal bukan.

Keterangan Quran yang digunakan untuk mendasari pendapat tersebut adalah ayat berikut:


”... Tetapi mereka (orang-orang Yahudi) tidak membunuhnya, dan tidak juga menyalibnya, melainkan diserupakan bagi mereka...” (Quran 4:157)

Apakah benar ayat di atas menunjukkan bahwa bukan Isa yang dihukum salib? Sangat penting untuk mendudukkan dengan jelas siapa-siapa saja pihak yang ada pada ayat di atas agar kita dapat memahaminya dengan lebih jernih. Kita dapat melihat bahwa “mereka” pada ayat tersebut mengacu pada orang-orang Yahudi, dan “dia/nya” pada ayat tersebut mengacu pada Isa.

Lalu siapakah yang “diserupakan” pada ayat tersebut? Jawabannya adalah tentu saja Isa! Tidak logis kalau tiba-tiba kita mengajukan orang lain (katakanlah Yudas) yang sama sekali tidak pernah disinggung pada ayat tersebut maupun pada ayat-ayat sebelumnya sebagai objek yang “diserupakan”.

Jadi bukan orang lain yang wajahnya diserupakan seakan-akan dia Isa. Tapi Isa lah yang diserupakan seakan-akan dia telah mati.

Penyaliban adalah sebuah bentuk hukuman mati yang akan mematikan si terhukum secara perlahan-lahan. Sekali lagi ditegaskan bahwa penyaliban adalah hukuman mati. Jadi kalaupun seseorang telah diikat atau dipaku di tiang salib, namun tidak sampai terbunuh, maka itu bukanlah penyaliban dalam arti yang sesungguhnya. Dan hal tersebutlah yang terjadi pada Isa.

Memang terdapat keterbatasan bahasa dalam mengistilahkan peristiwa penyaliban. Kalau orang yang dihukum salib sampai mati kita sebut “disalib”, lalu orang yang disalibkan tetapi tidak sampai mati--seperti yang sering dilakukan sebagian umat Nasrani untuk menapaktilasi pengalaman Yesus--harus disebut apa? Sepertinya tidak ada pilihan lain selain mengatakannya “disalib” juga.

Tetapi setidaknya kita paham bahwa “penyaliban” dalam arti yang sesungguhnya adalah sebentuk hukuman mati. Dari sudut pandang ini, maka orang yang disalibkan namun tidak sampai mati bisa dibilang “tidak disalib” .

Sampai di sini kiranya umat Islam dapat mengoreksi pemahamannya atas penyaliban Isa. Yaitu sebenarnya tidak ada “pemeran pengganti” dalam peristiwa penyaliban tersebut.

Koreksi selanjutnya ditujukan kepada umat Nasrani yang menganggap Yesus wafat disalib. Kali ini ayat-ayat dalam Bible yang akan banyak dikutip sebagai dasar penjelasan.

Apakah Yesus Mati Disalib?

Dengan berbagai fitnah akhirnya orang-orang Yahudi berhasil meyakinkan raja agar menjatuhkan hukuman salib atas diri Yesus. Pada hari penyaliban tersebut Yesus disalib bersama dua orang terhukum lain. Satu orang di sebelah kanan, dan satu orang lagi di sebelah kiri beliau.

Karena saat itu adalah hari persiapan untuk Sabat, yaitu hari yang disucikan oleh kaum Yahudi, maka orang-orang Yahudi meminta agar mayat para tersalib segera diturunkan agar tidak menjadi aib. Masalahnya, para terhukum salib tersebut masih belum mati karena penyaliban berlangsung belum cukup lama.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ada cara untuk mempercepat kematian orang yang dihukum salib, yaitu dengan mematahkan kakinya. Kaki dua orang terhukum lain yang masih hidup dipatahkan oleh eksekutor, namun kaki Yesus tidak dipatahkan karena mereka melihat bahwa beliau telah mati.

“tetapi ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya,” (Yohanes 19:33)

Perhatikan kata-kata “melihat bahwa Ia telah mati” pada ayat di atas. Ungkapan tersebut sejajar dengan apa yang di dalam Quran dinyatakan sebagai “diserupakan bagi mereka”.

Ada dua kemungkinan apabila seseorang “terlihat telah mati”. Kemungkinan pertama adalah bahwa dia benar-benar telah mati, dan kemungkinan yang lain adalah bahwa dia sebenarnya belum mati.

Pada zaman ketika ilmu kedokteran sudah maju seperti saat ini saja kita masih mendengar ada “mayat” yang hidup kembali beberapa jam setelah dinyatakan mati. Maksudnya orang tersebut sebenarnya belum benar-benar mati, tapi hanya pingsan atau jantungnya berhenti sementara (mati suri). Maka dua ribu tahun yang lalu kesalahan dalam mendiagnosa kematian seseorang tentu lebih mungkin lagi terjadi.

Sekadar mengingatkan kembali bahwa ketika eksekutor “melihat Yesus telah mati”, dua orang terhukum lain yang disalib bersama dengan beliau masih hidup (maka kaki mereka dipatahkan). Fakta ini memperkuat alasan untuk mengatakan bahwa penyaliban yang dilakukan pada saat itu--tiga jam menurut sejarawan--belum cukup lama untuk mematikan si terhukum.

Tidak kurang dari raja pun merasa heran dengan berita kematian Yesus. Keheranan raja disebabkan dia tahu bahwa seharusnya dibutuhkan waktu penyaliban yang lebih lama untuk membuat seorang terhukum salib itu mati.

“Pilatus heran waktu mendengar bahwa Yesus sudah mati. Maka ia memanggil kepala pasukan dan bertanya kepadanya apakah Yesus sudah mati.” (Markus 15:44)

Jadi, sebenarnya saat itu Yesus sudah mati atau masih hidup? Kita lanjutkan dulu ceritanya sedikit lagi.

Setelah eksekusi dianggap selesai, dan Yesus dianggap sudah mati, murid-murid rahasia Yesus--yaitu Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus--menghadap raja untuk meminta jasad guru mereka. Dan permintaan tersebut dikabulkan.

Mereka kemudian menurunkan Yesus dari tiang salib, mengafani beliau, dan memakamkan beliau di dalam sebuah kuburan yang terletak tidak jauh dari lokasi penyaliban. Jangan bayangkan kuburan Yesus tersebut berupa timbunan tanah seperti yang umumnya kita ketahui. Kuburan beliau adalah berupa ruang bawah tanah (gua batu) yang memiliki celah-celah udara, sehingga masih memungkinkan orang untuk bernapas di dalamnya.

Dua hari kemudian, salah seorang murid Yesus, Maria Magdalena datang ke kuburan beliau dan mendapati batu penutup makam telah tergeser, dan jasad beliau sudah tidak ada di tempatnya. Maria pun menangis. Di saat yang menyedihkan itu, Yesus--yang menyamar sebagai penunggu taman- hadir dan menyatakan bahwa diri beliau belum mati. Pada malam harinya Yesus memunculkan diri pula di hadapan murid-murid yang lain, dan menegaskan bahwa dirinya masih hidup.

Ya, Yesus masih hidup!

Pertanyaannya kemudian, status Yesus yang hadir kembali dalam keadaan hidup tersebut adalah sebagai orang yang belum mati, ataukah orang yang telah mati namun hidup kembali?

Kehadiran Yesus dalam keadaan hidup menunjukkan bahwa beliau belum mati dalam penyaliban. Beliau hanya sempat pingsan atau mati suri saja ketika itu. Bible sendiri menegaskan bahwa orang yang telah mati tidak akan muncul kembali. Maka, kemunculan Yesus hanya dapat diartikan bahwa beliau belum mati.

“Sebagaimana awan lenyap dan melayang hilang, demikian juga orang yang turun ke dalam dunia orang mati tidak akan muncul kembali.” (Ayub 7:9)

Kenyataan bahwa Yesus tidak mati disalib adalah wujud dari didengarkannya doa beliau oleh Tuhan. Doa yang “didengarkan” maksudnya adalah doa tersebut dikabulkan/dipenuhi.

“Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.” (Mazmur 5:7)

Apakah Yesus ada berdoa terkait dengan ancaman yang beliau hadapi ketika itu? Ya, sebelum terjadinya penangkapan di Getsemani, Yesus bermunajat kepada Tuhan agar diselamatkan dari cawan kematian yang tengah dipersiapkan oleh musuh-musuhnya.

“’Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.’” (Lukas 22:42)

“Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Lukas 22:44)

Jika Yesus mati disalib, maka tidak bisa dikatakan bahwa doa beliau telah dikabulkan Tuhan. Tetapi Tuhan telah mengabulkan doa hamba-Nya yang saleh tersebut dengan menyelamatkan Yesus dari maut.

Sampai di sini hendaklah saudara-saudara Nasrani bangun dari lamunannya tentang Yesus yang berkorban untuk menebus dosa manusia. Yesus tidak berkorban (beliau justru meratap agar diselamatkan dari upaya tersebut), dan upaya untuk “mengorbankan” beliau telah gagal.

Jika anda ingin mendapat keselamatan, berimanlah dengan benar, dan berbuatlah yang benar. Jika tidak, ketahuilah bahwa tiada siapapun yang dapat menyelamatkan anda di pengadilan Tuhan kelak.

Kepada orang-orang Yahudi yang kerap besar kepala karena merasa sebagai “kesayangan Tuhan”, ketahuilah bahwa makar kalian telah gagal. Tipu daya kalian terhadap utusan Tuhan telah dibalas-Nya dengan tipu daya yang lebih hebat!

“Dan mereka membuat tipu daya, dan Tuhan membuat tipu daya, dan Tuhan adalah yang terbaik (di antara) pembuat-pembuat tipu daya.” (Quran 3:54)

Argumen Tentang Kerasulan Yang Menyesatkan

Anda mengaku sebagai rasul, tapi bukankah kerasulan telah ditutup dengan hadirnya Nabi Muhammad?

Nabi Muhammad, sebagaimana dapat dibaca pada Quran 33:40, adalah penutup nabi-nabi (khataman nabiyyin). Beliau bukan disebut penutup rasul-rasul. Kita jangan gegabah membuat kesimpulan bahwa kerasulan telah tertutup padahal tidak ada dalil yang menyatakan demikian.

Bukankah dengan tertutupnya kenabian maka otomatis kerasulan juga ikut tertutup?

Anggapan demikian muncul karena sejak kecil kita diajarkan bahwa rasul itu pasti seorang nabi. Konsekuensinya, jika kenabian sudah tertutup maka otomatis kerasulan juga ikut tertutup. Padahal, rasul itu tidak pasti nabi.

Ayat Quran tentang perjanjian nabi-nabi dengan jelas mengindikasikan masih akan datangnya rasul setelah Nabi Muhammad. Pada ayat 3:81 diceritakan bahwa Tuhan telah mengambil janji dari nabi-nabi. Pokok dari janji tersebut adalah bahwa nabi-nabi itu akan mempercayai dan menolong rasul yang akan datang membenarkan apa yang ada pada mereka. Selanjutnya melalui ayat 33:7 kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad termasuk salah seorang nabi yang diikat dalam perjanjian tersebut. Artinya, setelah Nabi Muhammad masih akan datang lagi seorang rasul.

Rasul yang datang ini bukanlah seorang nabi yang membawa ajaran atau kitab baru. Saya hanya membenarkan ajaran dari kitab yang telah ada.

Bagaimana awal mulanya sampai Anda mendeklarasikan diri sebagai rasul?

Ceritanya dapat ditarik mundur ke pertengahan tahun 2005 ketika pada suatu malam saya mengalami semacam “induksi energi” yang sangat kuat yang membuat saya lemas satu atau dua hari. Badan saya menggigil kedinginan meskipun udara tidak dingin. Ada semacam cekaman rasa takut yang mengguncang, meskipun saya tidak melihat ataupun mengetahui ada ancaman yang perlu saya takuti.

Energi tersebut mengantarkan pesan bahwa saya telah dipilih Tuhan untuk menyampaikan ajaran ketauhidan yang sejati. Pada tahap ini saya sudah sempat menilai bahwa apa yang saya alami adalah penunjukan saya sebagai rasul. Namun dalam perkembangannya kemudian, saya mulai ragu dan menepis kesimpulan semula.

Sekitar bulan Juli 2007 saya kembali mengalami apa yang saya sebut sebagai induksi energi yang sangat kuat itu. Kali ini induksi terjadi sangat intensif, nyaris setiap hari. Setiap kali itu berlangsung, dada saya terasa sakit. Jantung rasanya seperti dibakar. Induksi yang membakar jantung ini betul-betul membuat saya kepayahan secara fisik maupun mental.

Setelah lebih kurang dua bulan didera oleh “pembakaran jantung” itu, pada awal bulan September 2007 induksi energi kembali meningkat. Kali ini wujudnya adalah luapan kuat dari dalam dada yang mendesak saya supaya mengumumkan jatidiri sebagai rasul.

Saya kemudian mengadu kepada Tuhan, bagaimana mungkin saya akan mengumumkan bahwa saya ini seorang rasul sedangkan keyakinan saya sendiri mengenai itu belum bulat. Karenanya saya memohon kepada Tuhan untuk diberikan tanda yang akan meyakinkan saya.

Akhirnya pada tanggal 13 September 2007 / 1 Ramadhan 1428 di dalam tidur saya menyaksikan roh yang diutus Tuhan, dalam wujud cahaya/energi berwarna hijau, datang dan memenuhi rongga dada saya. Cahaya/energi tersebut menyuarakan, “engkau adalah rasulullah, engkau adalah rasulullah…” berulang-ulang. Tiga minggu kemudian saya mendeklarasikan kerasulan saya.

Apa alasan saya untuk mempercayai Anda?

Anda dapat mempertimbangkan kenyataan bahwa apa yang saya serukan adalah ayat-ayat Tuhan, bahwa saya tidak mengharapkan materi dari dakwah yang penuh risiko ini, dan bahwa—oleh teman-teman dekat—saya dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya alias bukan tukang bohong.

Bagaimanapun, mustahil saya mengharuskan Anda untuk percaya. Tuhan telah menetapkan dengan pasti siapa-siapa saja orang yang akan tertunjuki dan siapa saja yang akan tersesat.

Cobalah menghayati penjelasan-penjelasan yang saya kemukakan. Tulisan-tulisan saya adalah jembatan bagi interaksi mental di antara kita. Jika Anda memang ditakdirkan untuk tertunjuki, insyaAllah penjelasan-penjelasan tersebut sudah memadai untuk menyalakan benih keimanan yang ada di dalam hati Anda.

Berbicara tentang kerasulan, apakah hal itu memang perlu dideklarasikan?

Tentu saja. Peristiwa kerasulan itu pada awalnya adalah pengalaman spiritual pribadi. Khalayak ramai tidak akan mengetahui keberadaan seorang rasul di tengah-tengah mereka jika kerasulan tersebut tidak diumumkan.

Apakah rasul-rasul zaman dahulu mendeklarasikan diri juga?

Sudah barang tentu. Nabi Muhammad disuruh mendeklarasikan kerasulan beliau kepada umat (baca 7:158), demikian pula halnya dengan rasul-rasul yang lain seperti Nuh (baca 7:61), Hud (baca 7:67), Musa (baca 26:16), Luth (baca 26:162), dan Syuaib (baca 26:178).

Apa misi kerasulan yang Anda bawa?

Tidak berbeda dengan rasul-rasul lain sepanjang zaman, misi saya adalah untuk menyampaikan ayat-ayat Tuhan dan mengajak manusia untuk memurnikan penghambaan hanya kepada-Nya.

Apakah Anda beragama Islam? Kalau iya, apakah Anda Islam sejak lahir atau pindahan dari agama lain?

Ya, saya beragama Islam sejak lahir, begitu pula kedua orang tua saya. Saya disunat, mengaji di madrasah, dan aktif di kegiatan keislaman kampus. Dari garis bapak, saya adalah generasi ke-tiga yang menganut Islam setelah ompung saya (alm) beralih agama dari Nasrani ke Islam ketika remajanya. Kalau dari garis ibu, sepertinya dari sananya memang sudah Islam semua.

Apakah Anda ini Imam Mahdi yang sering diramalkan?

Saya tidak punya petunjuk terkait dengan ramalan kemunculan “Imam Mahdi” ataupun figur-figur lain yang sering diramalkan. Karena itu, saya tidak bisa mengonfirmasi hal tersebut. Yang dapat saya konfirmasikan adalah bahwa saya seorang utusan Tuhan (rasulullah). Hanya itu.

Dalam hal saya mempercayai kerasulan Anda, apa yang selanjutnya harus saya lakukan?

Anda dapat menemui dan membaiat saya. Isi baiat adalah ikrar untuk menjauhi dosa-dosa besar dan untuk mematuhi rasul. Saya kemudian akan menerima baiat Anda dan memohonkan ampunan Tuhan untuk Anda.

Tidak ada biaya apapun. Saya tidak meminta imbalan atas risalah yang saya sampaikan ini. Cukuplah imbalan saya dari Tuhan yang telah mengutus saya.